Sebelum mengetahui hukum berkurban bagi orang yang mampu, Anda perlu mengukur diri, “Apakah benar Anda termasuk orang dengan kriteria mampu?”
Penting sekali untuk menjawab pertanyaan di atas. Apabila sudah jelas jawabannya ‘Ya’ atau ‘Tidak’, maka Anda bisa putuskan apakah Anda harus berkurban atau boleh menundanya?
Lalu, bagaimana penjelasannya? Kami telah menghimpun pendapat berbagai ulama beserta dalilnya untuk menjawab kriteria mampu dan hukum berkurban baginya.
Batasan mampu menurut para ulama
Sesungguhnya, sejak lama para ulama berbeda pendapat tentang batasan mampu berkurban. Kenyataan ini, dapat Anda lihat dari hasil ijtihad para ulama dalam empat mazhab fiqih besar. Mulai dari malikiyah, hanafiyah, syafi’iyah, serta hanabilah.
1. Kriteria mampu kurban menurut mazhab Maliki
Menurut pendapat Imam Malik, seseorang dapat dikategorikan mampu jika memiliki kelebihan harta jika Ia membeli hewan kurban. Selain itu, aktivitas pembeliannya tak mengganggu kebutuhan pokoknya dalam satu tahun.
2. Kriteria mampu kurban menurut mazhab Hanafi
Imam Abu Hanifah memiliki pendapat berlainan yang lebih tegas. Beliau menyebut angka 200 dirham dan tidak mengganggu kebutuhan pokok orang -orang dalam tanggungan. Bagi muslim dengan kriteria tersebut, maka artinya ia mampu.
3. Kriteria mampu kurban menurut mazhab Syafi’i
Lain lagi dengan pendapat Mazhab Syafi’i yang memberi standar lebih luas. Seseorang masuk kategori mampu, jika punya cukup uang untuk membeli hewan kurban dan menafkahi keluarga serta tanggungannya dalam masa penyembelihan (10 -13 Dzulhijjah).
4. Kriteria mampu kurban menurut mazhab Hanbali
Adapun dalam pandangan Mazhab Hanbali, orang yang bisa berhutang masih masuk dalam kategori mampu. Asalkan, Ia memiliki keyakinan kuat bahwa hutang tersebut dapat Ia lunasi.
Hukum berkurban bagi orang yang mampu
Sama sebagaimana dalam menentukan kriteria, para ulama juga memiliki perbedaan pendapat tentang hukum berkurban bagi orang yang mampu. Setidaknya, ada dua pendapat utama.
1. Wajib
Pendapat wajib merupakan kesimpulan minoritas, terutama dari kalangan Mazhab Hanafi. Imam Abu Hanifah berpendapat, selama seseorang masuk dalam kriteria mampu dan tidak sedang berhaji di Mina, maka Ia wajib berkurban.
Salah satu dalilnya adalah hadits berikut ini:
مَنْ وَجَدَ سَعَةً لِأَنْ يُضَحِّيَ فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَحْضُرْ مُصَلَّانَا
“Barang siapa mampu berkurban dan ia tidak melaksanakannya, maka janganlah ia menghadiri tempat shalat kami”. (HR. al-Baihaqi).
Sayangnya, sebagian ulama melemahkan hadits di atas karena terdapat salah satu perawi hadits yang masuk kategori lemah, yakni Abdullah bin Ayyash.
2. Sunnah
Hukum berkurban bagi orang yang mampu atau kaya adalah sunnah merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Kesimpulan ini diambil oleh mayoritas Mazhab Maliki, Syafi’i, serta Hanbali. Lebih tepatnya, sunnah muakkad, yang penekanannya mendekati wajib.
Jika sunnah, berarti menjadi pahala jika Anda lakukan dan tak mengapa (tidak berdosa) jika Anda tinggalkan. Ada berbagai dalil yang menjadi sandaran, termasuk hadis Nabi Saw berikut:
أإِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِيْ الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعَرِهِ وَأظْفَارِهِ
“Bila kalian melihat hilal Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian menghendaki berkurban, maka tahanlah rambut dan kukunya (untuk tidak dipotong)” (HR. Muslim)
Menurut Syeikh Wahbah Az-Zuhaili, hadis tersebut menunjukan bahwa kurban itu sangat bergantung dengan kehendak seseorang yang mau melakukannya. Hal itu otomatis membuat hukumnya tidak mungkin wajib.
Hukum meninggalkan kurban bagi orang yang mampu
Meskipun tidak berdosa jika orang mampu tidak berkurban, namun meninggalkan aktivitas ini merupakan tindakan yang dibenci. Maka dari itu, para ulama berpendapat hukumnya makruh.
Salah satu yang berkata demikian adalah Imam Ibnu Hajar al-Haitami:
ويكره تركها للخلاف في وجوبها ومن ثم كانت أفضل من صدقة التطوع
“Dan makruh meninggalkan kurban karena ikhtilaf ulama dalam kewajibannya, karena itu kurban lebih utama dari sedekah sunnah.”
Bahkan, bukan sekedar makruh, sebagian ulama memberi penekanan ‘sangat makruh’.
Kesimpulan hukum berkurban bagi orang yang mampu
Dengan mencermati pandangan para ulama terhadap dalil-dalil syar’i, maka jika Anda masuk kriteria mampu, sangat dianjurkan untuk berkurban. Meski meninggalkannya bukan dosa, namun itu merupakan tindakan tercela.
Sebaliknya, jika Anda bertanya bagaimana hukum berkurban bagi yang tidak mampu. jawabannya sudah jelas tidak mengapa. Anda tidak perlu memaksakan dan membahayakan ekonomi orang-orang dalam tanggungan Anda.
Jadi, tetaplah bersabar dan optimalkan Hari Raya Idul Adha dengan sunnah-sunnah lainnya. Meski hukum berkurban bagi orang yang mampu tidak berlaku untuk Anda, peluang untuk meraih keutamaan dan keridhoannya tetap terbuka!